Teknologi berkembang super cepat, dan itu diperkirakan bakal terus berlanjut hingga 2025. Menurut Laporan Google e-Conomy SEA 2024, ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai transaksi bruto (GMV) sebesar 90 miliar USD pada tahun 2024, dan bakal melonjak sampai 360 miliar USD pada tahun 2030.
Haris Izmee, Direktur Utama Equinix Indonesia, bilang kalau perkembangan ekonomi digital Indonesia sangat pesat, berkat dukungan besar dari pemerintah dan banyaknya perusahaan yang mulai mengadopsi teknologi cloud. Ke depan, inovasi dalam bidang AI, IoT, dan big data analytics, yang didorong dengan solusi yang lebih ramah lingkungan dan efisien dalam hal energi, akan semakin mendorong permintaan untuk pusat data yang lebih canggih.
Menurutnya, para pengusaha dan pemimpin digital di berbagai industri harus terus mengikuti perubahan ini agar bisa memanfaatkan teknologi baru sebaik mungkin dan menghadapi tantangan yang ada demi mendorong pertumbuhan. Equinix sendiri siap mendukung transformasi digital Indonesia dengan menyediakan infrastruktur digital yang kuat, agar bisa memenuhi kebutuhan ini.
Menjelang tahun 2045, ada empat tren utama yang diprediksi bakal membentuk masa depan bisnis dan teknologi di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia.
Pertama, penggunaan AI (Kecerdasan Buatan) mulai melesat, apalagi dengan hadirnya Large Language Models (LLMs) yang bisa diakses di cloud publik. Namun, semakin banyak perusahaan yang mulai sadar kalau mungkin ada pendekatan infrastruktur lain yang lebih cocok untuk beberapa aplikasi AI, terutama yang berhubungan dengan data pribadi.
Tren ini juga mencakup pasar IoT di Indonesia yang diprediksi mencapai nilai pasar 40 miliar USD pada tahun 2025, dengan lebih dari 1.346 miliar koneksi IoT pada tahun 2022. Peningkatan konektivitas ini menekankan pentingnya bagi perusahaan untuk mulai mempertimbangkan model AI yang lebih terlokalisasi, terutama untuk data sensitif, yang lebih aman kalau diproses melalui infrastruktur privat.
Sekarang, banyak perusahaan yang mulai beralih dari pendekatan tradisional, yang mengirimkan data ke cloud publik untuk diproses, menjadi pendekatan baru yang disebut ‘Model to Data’. Dengan pendekatan ini, model AI diletakkan pada infrastruktur privat yang lebih dekat dengan tempat data disimpan, yang biasanya juga lebih dekat dengan pengguna akhir. Cara ini memungkinkan proses yang lebih cepat, lebih murah, dan tentunya lebih aman.
Pendekatan ‘Model to Data’ ini sejalan dengan Kebijakan Satu Data Indonesia (SDI), yang bertujuan untuk memastikan pengelolaan data di seluruh lembaga pemerintah yang lebih terstruktur, efisien, dan aman.
Ada beberapa alasan kenapa pendekatan ini penting, terutama untuk menjaga privasi. Banyak aplikasi AI yang mengolah data sensitif, seperti di sektor keuangan atau layanan kesehatan. Untuk itu, beberapa perusahaan mulai memilih untuk memproses data mereka di infrastruktur privat agar lebih terkontrol.
Kecepatan juga jadi faktor penting. Layanan AI akan semakin bergantung pada latensi yang rendah, terutama untuk penggunaan berbasis audio, gambar, dan video. Dengan memanfaatkan pusat data yang tersebar di berbagai lokasi, perusahaan bisa mengurangi latensi dan mempercepat akses ke layanan AI.
Terakhir, soal biaya. Layanan AI yang masih dalam tahap awal atau yang melibatkan sedikit data mungkin lebih cocok menggunakan cloud publik. Tapi, untuk layanan yang lebih besar dan melibatkan transfer data yang lebih banyak, infrastruktur pribadi bisa jadi lebih hemat biaya dalam jangka panjang.
Haris juga memprediksi bahwa pada 2025, semakin banyak perusahaan yang akan mengadopsi infrastruktur AI hibrida, yang memberi fleksibilitas untuk memilih antara menggunakan cloud publik atau infrastruktur privat tergantung pada kebutuhan mereka.
Di Indonesia, beberapa wilayah seperti Kalimantan Timur, Jakarta, dan Kepulauan Riau menunjukkan permintaan tertinggi untuk AI. Sektor-sektor seperti pemasaran, game, dan pendidikan menjadi yang terdepan dalam pencarian terkait AI. Selain itu, aplikasi mobile yang memanfaatkan AI juga semakin populer, dengan 69% pengguna tertarik mencoba fitur AI lainnya, sementara 9% tertarik pada efek foto dan 9% lainnya pada fitur pengeditan video.